Tampilkan postingan dengan label fail. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fail. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 Maret 2013

How we succeed by failing

 By the time Steve Jobs’s Wikipedia page had been adjusted to past tense, eulogists had added a footnote to his biography of success. Failure.

Jobs, though wildly successful, also failed often and badly. Therein, we note, lies perhaps the larger lesson of his life: Sometimes you have to fail to succeed.

The truth is, you usually have to fail to succeed. No one emerges at the top. Even those born lucky eventually get a turn on the wheel of misfortune. Anyone with a résumé of accomplishments also has a résumé of failures, humiliations and setbacks. Jobs was fired by the company he co-founded. Yet it was during this period of exile that he picked up a little computer graphics company later called Pixar Animation Studios, the sale of which made him a billionaire.

This is to say, to fail is human. To resurrect oneself is an act of courage.

Jobs himself recognized his failures in a now-famous 2005 commencement speech at Stanford. He recalled sleeping on the floors of friends’ dorm rooms and walking seven miles to a Hare Krishna temple for his one good meal of the week. One needn’t make an appointment with the Genius Bar to glean the moral of this story.

Fear of failure isn’t only an adult concern. From an early age, we are plagued with anxiety about performance. This seems a natural-enough evolutionary development. The strong and savvy survive (and get the girl). The less accomplished eat scraps and enjoy the company of human leftovers. “Losers,” we call them. So habitual is our attention to failure that we even have a word — or at least the Germans do — for enjoying others’: schadenfreude.

What possibly could make us take pleasure in another’s failure? Simple. We love the company.
A history of human failure would make for a long and interesting read, yet we prefer books about success. We thrill at the end-zone victory dance, applaud the extra point, admire the perfect 10. In literature, what is redemption but recovery from human failing? We love no one more than the man or woman who says I made a mistake, I’m sorry, please forgive me. Forgive? We want to hoist the penitent on our shoulders.

An entire lexicon of cliches has evolved around the idea of failure and recovery. It’s not the thing attained that matters; it’s the journey that gives us life. The act of creation — the struggle — far exceeds the pleasure of the thing created. Unless, of course, it’s an Apple iPhone 4S. BlackBerry? Not so much.

Recent acknowledgment of the power of failure, inspired by Jobs’s too-soon demise, provides a welcome spiritual uplift for stressed-out adults. But we’re missing an even more important morality tale that has profound consequences for our nation’s future. Our obsession with success and our fear of failure has trickled down to ever-younger humans, our children, at great cost not only to their psychological well-being but also, ultimately, to our ability to compete in the global marketplace.

We’re so afraid that our kids won’t measure up that we drive them crazy with overbooked schedules and expectations and then create a sense of entitlement by insisting on assigning blame elsewhere when their performance is lackluster. Sideline parents, first cousins to back-seat drivers, who challenge coaches, teachers and umpires on behalf of their children are a relatively new development that can’t be considered positive. When I wrote recently about the failure (there’s that word again) of colleges to teach core curricula that engender critical thinking skills, dozens of professors wrote to complain of students who aren’t willing to work hard (or show up) yet still expect good grades. Even in college, they said, parents pester professors for better marks for their little darlings.

In another famous commencement address, J.K. Rowling’s to Harvard in 2008, the “Harry Potter” author eulogized her own valuable failures. “Failure gave me an inner security that I had never attained by passing examinations,” she said. “Failure taught me things about myself that I could have learned no other way.”

If we agree that wisdom, confidence and a better Apple are gifts of failure, then why are we so afraid to allow our children to experience it? In a culture where failure is not well-enough understood as necessary to growth — and accomplishment is diminished by a code of equal outcomes that enshrines entitlement — then no one gets wiser or better. And a nation populated by such people may not survive.

Tulisan ini ditulis oleh Kathleen Parker  (kathleenparker@washpost.com) dan saya ambil dari Washington Post

Rabu, 07 Desember 2011

How We Succeed by Failing

Ada artikel menarik di Washington Post yang berjudul How We Succeed byFailing menyoroti hal tentang keberhasilan dan kegagalan yang juga menggunakan cerita tentang Steve Jobs yang harus meninggalkan Apple sebagai ilustrasinya. Steve Jobs, walaupun sangat sukses, juga sering gagal, termasuk pernah mengalami kegagalan yang sangat parah.

Kathleen Parker, penulis artikel di Washington Post tersebut menyarikan pelajaran yang dapat diambil dari apa yang dialami oleh Jobs: kadang- kadang seseorang (memang) harus gagal untuk dapat berhasil. Pada umumnya, manusia memang harus pernah merasakan kegagalan untuk dapat berhasil, tak ada seorangpun yang tiba- tiba bisa berada di puncak. Bahkan orang yang beruntungpun kadangkala mengalami ketidak beruntungan. Siapapun dengan riwayat hidup yang cemerlang dan penuh kesuksesan juga memiliki riwayat tentang kegagalan, penghinaan dan kemunduran.

Ada posting yang mengambil ilustrasi dari kisah Stephen King, penulis kisah misteri terkenal yang konon mengalami banyak penolakan atas karya- karyanya sebelum akhirnya bertahun- tahun setelah mencoba menulis lagi, lagi dan lagi akhirnya sebuah karyanya diterbitkan. Dan pada akhirnya dia meraih kesuksesan. Novel- novel yang ditulis Stephen King hampir selalu menjadi novel best seller. Bukan hanya Stephen King. Dalam dunia tulis menulis, salah satu contoh populer lain adalah tentang J.K. Rowling. Harry Potter and The Philosopher Stone, buku pertama dari serial Harry Potter yang sangat terkenal itu, ditolak oleh banyak penerbit, terutama penerbit- penerbit besar. Harry Potter akhirnya diterbitkan oleh Bloomsburry, sebuah penerbit kecil di London (dan keputusan untuk menerbitkan buku ini bukan diambil atas dasar keputusan profesional para editor senior tapi semata sebab putri CEO penerbit Bloomsburry yang berusia delapan tahun memohon pada ayahnya agar bersedia menerbitkan buku itu). Harry Potter kemudian ternyata meledak menjadi sebuah karya fenomenal.
***
Kegagalan, sebenarnya adalah sesuatu yang wajar dialami oleh manusia. Seperti keberhasilan, kegagalan adalah suatu siklus hidup. Bagian dari perjalanan jiwa untuk memaknai hidup, mencapai pengertian akan hidup, agar dapat mencapai sesuatu yang lebih baik.

Tentu, tentu saja manusia harus memiliki kekuatan dan keberanian untuk menghadapi situasi sangat tak enak yang bernama kegagalan itu. Hanya manusia- manusia yang kuat yang bisa bangkit lagi, dan lagi setelah jatuh dan gagal. Dan manusia- manusia semacam inilah yang kelak akan mencatat sejarah serupa Steven Jobs, J.K Rowling, Stephen King dan semacamnya.

Lalu, menyadari bahwa sebenarnya kegagalan merupakan suatu siklus dimana kebanyakan manusia akan mengalaminya, maka sebenarnya ada satu hal selain tekad dan keberanian untuk menghadapi kegagalan dan kesanggupan untuk bangun kembali setelah jatuh yang selayaknya dimiliki oleh manusia.
Apa itu?       
Ini: kemampuan untuk menikmati saat- saat gagal.
Eh, menikmati?
Ya, benar, menikmati.
Sebab, kegagalan yang menimpa seseorang selayaknya dimaknai sebagai suatu ujian untuk mencapai level yang lebih tinggi.

Apapun yang lebih tinggi itu. Bisa materi. Bisa pencapaian spiritual. Bisa juga kedua- duanya. Dan sungguh, kegagalan memang hanya akan berarti jika setelah gagal itu sesuatu yang lebih tinggi dapat diraih. Jika tidak, maka kepahitan itu akan menjadi sia- sia. Karena itulah kemampuan untuk bersabar dan menikmati saat- saat gagal diperlukan. Sebab, adakalanya kegagalan itu terjadi diluar kemampuan manusia untuk mengatasinya. Ada contoh menarik yang dapat digunakan sebagai ilustrasi. Ada sebuah permainan yang dirancang oleh sebuah event organizer untuk membangun team work sekaligus berwisata mengeksplorasi sebuah kota. Kegiatan ini dilakukan dengan cara membagi sebuah kelompok besar menjadi kelompok- kelompok yang lebih kecil. Semua kelompok kecil ini diberi tugas yang sama untuk mencari beberapa tempat di kota tersebut, dengan menggunakan kendaraan andong.

Ada banyak soal yang harus dipecahkan. Soalnya sama, tetapi pencapaiannya berbeda. Sebab adakalanya informasi yang sama dicerna dengan cara yang berbeda oleh kelompok yang berlainan. Situasi yang dihadapi kadang juga tak sama. Selain itu, adakalanya juga muncul faktor hambatan atau bantuan yang sulit diprediksi sebab datang dari pihak luar.

Ada kelompok yang secara efisien bisa memecahkan soal demi soal dengan urutan yang benar dan mencapai banyak tempat. Ada kelompok yang sebab tak sependapat tentang solusi yang harus diambil lalu mengabaikan informasi yang sebenarnya sudah ada di tangan. Ada kelompok yang hanya berputar- putar berulang kali di tempat yang sama sebab walau mereka sudah memiliki informasi kemana harus pergi, namun sang pengemudi andong tak tahu jalan mana yang harus ditempuh!

Dalam situasi semacam itu, yang akan harus dilakukan adalah menerima saja bahwa hal tersebut terjadi. Sebab memang ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan manusia, baik faktor internal maupun eksternal.

Ada yang bisa dieliminir, ada yang tidak.
Tak ada cara lain untuk bisa melalui situasi semacam itu selain menikmati dan mentertawakan saja kegagalan itu.

Bagaimanapun, hidup akan terus berjalan. Gagal pada suatu periode tak berarti kegagalan itu akan berlanjut terus menerus. Akan ada akhir suatu siklus. Akan ada tenggat waktu tentang sesuatu. Dan kesempatan lain akan muncul.

Karenanya, saat banyak halangan menghadang, just have fun. Nikmati saja kegagalan itu. Sambil tentunya, di pihak lain, juga terus berusaha untuk bangun dan melangkah maju.
Dunia terus berputar. Tak ada yang abadi. Tidak juga kegagalan. Suatu saat, roda yang tadinya berada di bawah akan kembali naik ke atas…

*this article was taken from rumahkayu*